Minggu, 08 Juli 2012

SANG PENYANYI YANG TAK BUTUH POPULARITAS

Nyanyiannya begitu menyentuh hati, siapapun yang mendengarnya bisa terenyuh, kecuali yang tidak mempunyai hati nurani. Yang kuingat dalam bait syairnya berbunyi “saya tidak pernah merasakan apa yang kalian rasakan, bisa sekolah dengan bebas, karena perceraian itu kehidupanku menjadi hancur, dan kehidupan jalananlah yang kini menjadi sahabatku”  nada dan syair yang jarang kudengar. Saya menyebutnya artis tanpa pamrih, karena dia menyanyi dengan tulus dan tidak mengharapkan banyak keinginan itu selain keadilan dan kebebasan. Sungguh tidak mempunyai hati nurani orang-orang birokrasi itu mengeluarkan kebijakan agar tidak memberikan sesuatu pada mereka, sungguh sangat tidak adil. Apakah orang birokrat itu bisa menjamin kehidupan yang layak bagi mereka. Setidaknya tempat tinggal untuk mereka, mereka yang layak diperhatikan malah dicampakkan malah dilupakan dengan adanya kebijakan itu. Tak sadar saat itu butiran bening itu keluar dari kelopak mataku, dan anak kecil itu masih melantunkan syair yang sama.
Tak ku gubris peraturan orang birokrasi itu. Ya, aku melanggarnya. Karena prinsipku, lakukanlah apa yang menurutmu baik. Mereka mencari nafkah dengan menyanyi, daripada mencuri lebih baik mencari rizqi yang lebih halal. Mungkin mereka kebingungan, menyanyi seperti itu dilarang, mencuri pun langsung masuk penjara, lalu apakah keadilan untuk rakyat itu masih untuk semua kalangan? BULSYIT dengan keadilan untuk semua kalangan, BULSYIT dengan UU Pasal 34 yang mengatur tentang anak yatim dan terlantar. Lalu buat apa kebijakan UU tersebut jika tidak dilaksanakan. Hanya untuk pemenangan pamor kekuasaan atau untuk mendapat simpati rakyat. Selamanya pembohong tetap pembohong. Indonesiaku, Indonesiaku, begitu terus sistemnya dari dahulu.
Sungguh tak adil pula jika para koruptor bisa bebas dan menghirup udara segar, sedangkan para anak-anak itu dibiarkan keadilan dan martabatnya terinjak-injak. Apakah keadilan itu hanya untuk kalangan elite saja, sungguh tidak manusiawi jika seperti itu halnya. Minimal kesejahteraan untuk mereka dapat memiliki tempat singgah atau rumah singgah yang layak. Saya jadi teringat seorang anak kecil di buah batu yang berkata “Teh, saya mau sekolah, kapan saya dimasukan ke sekolah?”  pertanyaan itu bagaikan bombardir bagiku. Saat itu saya hanya bisa menjawab “Sabar ya de..”
Waktu itu, saya mengadukan permasalahan tersebut kepada rekan saya yang menjadi kadept pengmasy kamda bandung. Namun, mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya hal ini kurang dimaksimalkan. Sekarang sudah hampir lima bulan lebih saya tidak ke Buah Batu, karena alasan tadi, waktu akhir pekan biasa untuk kegiatan akademik saya yang belum tuntas. Terakhir kali saya bertemu anak kecil yang sangat ingin sekolah itu, namanya andri. Dia dibuang oleh orangtuanya sejak kecil, padahal dia adalah keluarga mampu, itu cerita dari seorang pengasuh dia sejak bayi, saya lupa lagi namanya. Saya sangat berharap permasalahan ini segera dituntaskan, setuntas-tuntasnya. Kita juga mesti memperhatikan permasalahan ini secara serius, seperti layaknya kita menangani masalah korupsi dan isu lain. Sungguh, kebijakan pemerintah yang sungguh tidak adil. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, seharusnya menawarkan solusi yang lain, minimal membantu secara materi, itu sangat membantu.
Saat ini sagat sedikit dan jarang yang masih peduli dengan keberadaan mereka, masih memandang sebelah kanan kedudukan mereka. Masih adakah yang peduli dan siap melayani “sang penyanyi kecilku” itu. Wallahualam, semoga bisa menjadi renungan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar