Nyanyiannya begitu menyentuh hati, siapapun yang mendengarnya bisa
terenyuh, kecuali yang tidak mempunyai hati nurani. Yang kuingat dalam
bait syairnya berbunyi “saya tidak pernah merasakan apa yang kalian
rasakan, bisa sekolah dengan bebas, karena perceraian itu kehidupanku
menjadi hancur, dan kehidupan jalananlah yang kini menjadi sahabatku” nada
dan syair yang jarang kudengar. Saya menyebutnya artis tanpa pamrih,
karena dia menyanyi dengan tulus dan tidak mengharapkan banyak keinginan
itu selain keadilan dan kebebasan. Sungguh tidak mempunyai hati nurani
orang-orang birokrasi itu mengeluarkan kebijakan agar tidak memberikan
sesuatu pada mereka, sungguh sangat tidak adil. Apakah orang birokrat
itu bisa menjamin kehidupan yang layak bagi mereka. Setidaknya tempat
tinggal untuk mereka, mereka yang layak diperhatikan malah dicampakkan
malah dilupakan dengan adanya kebijakan itu. Tak sadar saat itu butiran
bening itu keluar dari kelopak mataku, dan anak kecil itu masih
melantunkan syair yang sama.
Tak ku gubris peraturan orang
birokrasi itu. Ya, aku melanggarnya. Karena prinsipku, lakukanlah apa
yang menurutmu baik. Mereka mencari nafkah dengan menyanyi, daripada
mencuri lebih baik mencari rizqi yang lebih halal. Mungkin mereka
kebingungan, menyanyi seperti itu dilarang, mencuri pun langsung masuk
penjara, lalu apakah keadilan untuk rakyat itu masih untuk semua
kalangan? BULSYIT dengan keadilan untuk semua kalangan, BULSYIT dengan
UU Pasal 34 yang mengatur tentang anak yatim dan terlantar. Lalu buat
apa kebijakan UU tersebut jika tidak dilaksanakan. Hanya untuk
pemenangan pamor kekuasaan atau untuk mendapat simpati rakyat. Selamanya
pembohong tetap pembohong. Indonesiaku, Indonesiaku, begitu terus
sistemnya dari dahulu.
Sungguh tak adil pula jika para koruptor
bisa bebas dan menghirup udara segar, sedangkan para anak-anak itu
dibiarkan keadilan dan martabatnya terinjak-injak. Apakah keadilan itu
hanya untuk kalangan elite saja, sungguh tidak manusiawi jika seperti
itu halnya. Minimal kesejahteraan untuk mereka dapat memiliki tempat
singgah atau rumah singgah yang layak. Saya jadi teringat seorang anak
kecil di buah batu yang berkata “Teh, saya mau sekolah, kapan saya dimasukan ke sekolah?” pertanyaan itu bagaikan bombardir bagiku. Saat itu saya hanya bisa menjawab “Sabar ya de..”
Waktu
itu, saya mengadukan permasalahan tersebut kepada rekan saya yang
menjadi kadept pengmasy kamda bandung. Namun, mungkin karena
keterbatasan waktu, tenaga dan biaya hal ini kurang dimaksimalkan.
Sekarang sudah hampir lima bulan lebih saya tidak ke Buah Batu, karena
alasan tadi, waktu akhir pekan biasa untuk kegiatan akademik saya yang
belum tuntas. Terakhir kali saya bertemu anak kecil yang sangat ingin
sekolah itu, namanya andri. Dia dibuang oleh orangtuanya sejak kecil,
padahal dia adalah keluarga mampu, itu cerita dari seorang pengasuh dia
sejak bayi, saya lupa lagi namanya. Saya sangat berharap permasalahan
ini segera dituntaskan, setuntas-tuntasnya. Kita juga mesti
memperhatikan permasalahan ini secara serius, seperti layaknya kita
menangani masalah korupsi dan isu lain. Sungguh, kebijakan pemerintah
yang sungguh tidak adil. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan
tersebut, seharusnya menawarkan solusi yang lain, minimal membantu
secara materi, itu sangat membantu.
Saat ini sagat sedikit dan
jarang yang masih peduli dengan keberadaan mereka, masih memandang
sebelah kanan kedudukan mereka. Masih adakah yang peduli dan siap
melayani “sang penyanyi kecilku” itu. Wallahualam, semoga bisa menjadi renungan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar