Sungguh sangat nyata
balasan orang – orang yang sombong dalam Al Qur’an Surat Al A’raaf:133.
Maka Allah langsung menimpakan azab pada siapapun yang melakukan
kesombongan. Untuk itu, tidak ada salahnya jika kita tidak membatasi
pergaulan dan tidak mengeksklusifkan diri. Bersikap ramah dengan
senyuman itu lebih dihargai dibandingkan dengan diam seribu bahasa tanpa
senyuman dan kata – kata. Jika sikap ini dilakukan kepada ikhwan mah
tidak apa – apa, bisi menimbulkan fitnah, tapi kalo ke akhwat mah harus
ramah atuh. Namun, jika memang ingin bersikap sama terhadap ikhwan juga
tidak bermasalah sebenarnya, namun jangan sampai terlalu dekat dan
akrab. Jika kita melihat keakraban ikhwan dan akhwat yang begitu cair
saja sungguh tidak enak untuk dilihat, untuk itu jangan sampai kita
menjadi akhwat “nyebelin” dengan sikap kita tersebut. Buatlah suasana
yang memang semua orang nyaman jika berinteraksi denganmu. Jangan sampai
kita menjadi “nyebelin” karena menghapal Al Qur’an tetapi tidak
mengamalkan apa yang terkandung didalamnya. Jangan hanya dijadikan
target pribadi dengan mengkhatamkan Al Qur’an bahkan menghafalnya jika
apa yang terkandung didalam Al Qur’an tersebut tidak kita amalkan dalam
kehidupan sehari – hari.
Hakikatnya, seberat apapun ujian yang kita hadapi kita pasti bisa melaksanakan atau melewati ujian itu, karena janji Allah memang begitu. Allah tidak akan menimpakan satu ujian kecuali hambaNYA dapat melewati ujian tersebut. Jadi, apapun yang terjadi dalam perjalanan kehidupan dan dakwah ini sering mengalami halangan dan rintangan, semuanya membutuhkan fase. Ada dua fase dalam kehidupan di dunia, yaitu fase kesedihan dan fase kesenangan, semua orang pasti akan mengalami kedua fase tersebut berkali – kali dengan berbagai macam titik fokus yang berbeda – beda tentang kesedihan ataupun kesenangan. Namun, janganlah kahwatir dengan semuanya karena Allah tidak akan salah memilih orang yang akan mendapatkan ujian itu. Semuanya adalah bentuk kasih sayangnya pada hambaNYA yang memang berhak mendapatkan semuanya.
Semoga dengan ujian – ujian tersebut kita semua bisa istiqomah di jalanNYA. Namun, semuanya akan tercipta jika kita memiliki ruhiyah yang kuat yang selalu di cas setiap pekan atau bahkan setiap hari. Walaupun memang dengan ada atau tidak adanya kita dakwah tetap akan berjalan. Namun, semua itu perlu kita lakukan agar semangat dan keistiqomahan itu tidak luntur terbawa arus kehidupan yang begitu deras mengalir dalam kehidupan ini yang akhirnya menjadi buih di tengah lautan, na’udzubillah.
Jika istiqomah itu adalah akibat, maka kita harus mengetahui mengapa orang bisa bersikap istiqomah dalam menjalankan kehidupan. Begitupula dengan adanya kesuksesan yang diraih oleh seseorang, kita harus mengetahui mengapa ia bisa menjadi sukses. Jangan sampai kita menjadi orang “nyebelin” dengan kegamangan kita karena tidak istiqomah, atau dengan sikap bergantung pada orang lain dengan tidak adanya ikhtiar dan tanggung jawab yang dilakukan untuk memperbaiki hidup.
Hakikatnya, pemenang kehidupan yang sesungguhnya adalah ia yang tetap sejuk (istiqomah) di tempat yang panas (hedon), yang tetap manis di tempat yang pahit (lingkungan yang tidak “kondusif”), tetap merasa kecil walaupun menjadi besar (tidak sombong dengan jabatan dan amanah yang dimiliki), yang tetap tenang di tengah badai (sabar dalam menghadapi ujian yang menimpanya), yang terakhir adalah yang masih hebat dan tetap mengendalikan diri dengan mengandalkan Allah terhadap segala hal yang akan dilakukan. Tetap bersemangatlah, karena keberkahan Allah adalah janji yang pasti.
Seorang muslim itu memang unik, karena dengan dua hal saja dia bisa menikmati hidupnya. Yaitu ketika dia diberi ujian dia bersabar dan jika diberi kebahagiaan dia bersyukur. Cukuplah Allah yang menyemangati kita, karena Allah yang memberikan ujian tersebut dan yang paling tau kita bisa melewatinya atau tidak. Sehingga secara tanpa sadar, peristiwa menjadi teguran atas kemalasan kita dan cukuplah Allah saja yang memelihara ketekunan kita karena perhatian manusia terkadang menghanyutkan keikhlasan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pribadi yang bermakna, pribadi yang saat berbaur ia mampu menyemangati yang lain dan saat sendiri ia mampu menyemangati dirinya sendiri.
Seorang muslim itu harus gaul, gaul disini dimaksudkan dalam hal muamalah. Hendaknya sebagai seorang muslim yang tidak ingin berpredikat “nyebelin” maka kita harus bersikap ramah, dan tidak angkuh, berikan satu senyumanmu kepada siapapun orang yang ditemui. Muslim yang ga “nyebelin” itu akan selalu menghargai orang lain, menghargai pendapat ataupun tindakannya, jika benar maka didukung jika salah maka diingatkan yang benarnya seperti apa, bukan malah tidak pernah menerima masukan dari orang lain dan malah merendahkan orang lain karena diinilai pendapat orang lain itu tidak sesuai dengan apa yang kita usulkan itu. Itu sangat egois, jangan sampai kita menjadi muslim yang “nyebelin”. Jadikan kita tempat yang nyaman bagi mereka yang merasakan dahaga yang begitu kering karena telah lama berjalan di gurun pasir. Jangan sampai kita menambahkan rasa panas itu. Muslim yang gaul, hakikatnya dapat menyejukkan dengan kehadiran kita baik perkataan maupun perbuatan.
Teruslah berjuang untuk kebaikan dan kebenaran, ujian yang sesulit dan sepahit apapun akan kau temui dalam perjalanan ini. Jangan pernah kecewa, karena itu salah satu sifat muslim yang “nyebelin”, tetaplah bergabung dalam jama’ah ini karena berjama’ah itu lebih baik daripada sendirian. Jangan pernah menyerah, bangkitlah disaat jatuh. Peganglah prinsip kita selama itu benar. Muslim yang gaul dan tidak “nyebelin” ia akan senantiasa menjadi penyejuk sahabatnya dengan berbagai perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian, masing – masing mempunyai rasa saling memiliki dan dimiliki. Dan ingatlah pesan Imam Hasan Al Banna, yang pernah berpesan jangan pernah meninggalkan orang yang berada jauh di belakang kita. Tetapi bersabarlah dan tungguilah dia sampai pada saat dan waktunya tiba. Itu hakikat muslim gaul dan tidak “nyebelin”.
Wallahu’alam Bis Shawab
Hakikatnya, seberat apapun ujian yang kita hadapi kita pasti bisa melaksanakan atau melewati ujian itu, karena janji Allah memang begitu. Allah tidak akan menimpakan satu ujian kecuali hambaNYA dapat melewati ujian tersebut. Jadi, apapun yang terjadi dalam perjalanan kehidupan dan dakwah ini sering mengalami halangan dan rintangan, semuanya membutuhkan fase. Ada dua fase dalam kehidupan di dunia, yaitu fase kesedihan dan fase kesenangan, semua orang pasti akan mengalami kedua fase tersebut berkali – kali dengan berbagai macam titik fokus yang berbeda – beda tentang kesedihan ataupun kesenangan. Namun, janganlah kahwatir dengan semuanya karena Allah tidak akan salah memilih orang yang akan mendapatkan ujian itu. Semuanya adalah bentuk kasih sayangnya pada hambaNYA yang memang berhak mendapatkan semuanya.
Semoga dengan ujian – ujian tersebut kita semua bisa istiqomah di jalanNYA. Namun, semuanya akan tercipta jika kita memiliki ruhiyah yang kuat yang selalu di cas setiap pekan atau bahkan setiap hari. Walaupun memang dengan ada atau tidak adanya kita dakwah tetap akan berjalan. Namun, semua itu perlu kita lakukan agar semangat dan keistiqomahan itu tidak luntur terbawa arus kehidupan yang begitu deras mengalir dalam kehidupan ini yang akhirnya menjadi buih di tengah lautan, na’udzubillah.
Jika istiqomah itu adalah akibat, maka kita harus mengetahui mengapa orang bisa bersikap istiqomah dalam menjalankan kehidupan. Begitupula dengan adanya kesuksesan yang diraih oleh seseorang, kita harus mengetahui mengapa ia bisa menjadi sukses. Jangan sampai kita menjadi orang “nyebelin” dengan kegamangan kita karena tidak istiqomah, atau dengan sikap bergantung pada orang lain dengan tidak adanya ikhtiar dan tanggung jawab yang dilakukan untuk memperbaiki hidup.
Hakikatnya, pemenang kehidupan yang sesungguhnya adalah ia yang tetap sejuk (istiqomah) di tempat yang panas (hedon), yang tetap manis di tempat yang pahit (lingkungan yang tidak “kondusif”), tetap merasa kecil walaupun menjadi besar (tidak sombong dengan jabatan dan amanah yang dimiliki), yang tetap tenang di tengah badai (sabar dalam menghadapi ujian yang menimpanya), yang terakhir adalah yang masih hebat dan tetap mengendalikan diri dengan mengandalkan Allah terhadap segala hal yang akan dilakukan. Tetap bersemangatlah, karena keberkahan Allah adalah janji yang pasti.
Seorang muslim itu memang unik, karena dengan dua hal saja dia bisa menikmati hidupnya. Yaitu ketika dia diberi ujian dia bersabar dan jika diberi kebahagiaan dia bersyukur. Cukuplah Allah yang menyemangati kita, karena Allah yang memberikan ujian tersebut dan yang paling tau kita bisa melewatinya atau tidak. Sehingga secara tanpa sadar, peristiwa menjadi teguran atas kemalasan kita dan cukuplah Allah saja yang memelihara ketekunan kita karena perhatian manusia terkadang menghanyutkan keikhlasan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pribadi yang bermakna, pribadi yang saat berbaur ia mampu menyemangati yang lain dan saat sendiri ia mampu menyemangati dirinya sendiri.
Seorang muslim itu harus gaul, gaul disini dimaksudkan dalam hal muamalah. Hendaknya sebagai seorang muslim yang tidak ingin berpredikat “nyebelin” maka kita harus bersikap ramah, dan tidak angkuh, berikan satu senyumanmu kepada siapapun orang yang ditemui. Muslim yang ga “nyebelin” itu akan selalu menghargai orang lain, menghargai pendapat ataupun tindakannya, jika benar maka didukung jika salah maka diingatkan yang benarnya seperti apa, bukan malah tidak pernah menerima masukan dari orang lain dan malah merendahkan orang lain karena diinilai pendapat orang lain itu tidak sesuai dengan apa yang kita usulkan itu. Itu sangat egois, jangan sampai kita menjadi muslim yang “nyebelin”. Jadikan kita tempat yang nyaman bagi mereka yang merasakan dahaga yang begitu kering karena telah lama berjalan di gurun pasir. Jangan sampai kita menambahkan rasa panas itu. Muslim yang gaul, hakikatnya dapat menyejukkan dengan kehadiran kita baik perkataan maupun perbuatan.
Teruslah berjuang untuk kebaikan dan kebenaran, ujian yang sesulit dan sepahit apapun akan kau temui dalam perjalanan ini. Jangan pernah kecewa, karena itu salah satu sifat muslim yang “nyebelin”, tetaplah bergabung dalam jama’ah ini karena berjama’ah itu lebih baik daripada sendirian. Jangan pernah menyerah, bangkitlah disaat jatuh. Peganglah prinsip kita selama itu benar. Muslim yang gaul dan tidak “nyebelin” ia akan senantiasa menjadi penyejuk sahabatnya dengan berbagai perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian, masing – masing mempunyai rasa saling memiliki dan dimiliki. Dan ingatlah pesan Imam Hasan Al Banna, yang pernah berpesan jangan pernah meninggalkan orang yang berada jauh di belakang kita. Tetapi bersabarlah dan tungguilah dia sampai pada saat dan waktunya tiba. Itu hakikat muslim gaul dan tidak “nyebelin”.
Wallahu’alam Bis Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar