Minggu, 08 Juli 2012

KEMILAU PUNCAK AMAL JAMA'I

 KEMILAU PUNCAK AMAL JAMA'I

Malam sunyi ku nikmati bersama sinaran bulan purnama, ku lukiskan mimpi yang dulu pernah ku rangkai juga sebelumnya, namun belum tercapai. Malam ini ku lukiskan kembali dalam sebuah lembaran putih yang beradukan tinta hitam yang masih basah. Dalam kesendirian ini, ku berucap “Allah bersamaku, Allah mengawasiku, Allah menyaksikan aku”. Pada hakikatnya, tidak ada yang bisa menaklukkan hati manusia dan meweujudkan mimpi kita selain Sang Pencipta jiwa dan raga ini, ya Dialah Allah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hanya Allah yang bisa melakukan interaksi kedalam hati manusia, memberi perasaan cinta dan kasih sayang dalam hati manusia, hal ini terbukti dalam firmanNYA di QS. Al Anfa:63.

Bersyukurlah padaNYA karena kita masih diberi kesempatan untuk bertemu, bersilaturahim,dan bertukar pikiran dengan sahabat kita. Pertemuan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas dakwah kita, diisi untuk meningkatkan kerja dan kinerja dakwah kita, performa dakwah dan jama’ah kita ini. Seiring sejalan dan terus bergantinya waktu, dakwah dan harakah kita banyak mengalami tantangan yang harus kita respon dan antisipasi demi kemaslahatan ummat. Dalam rangkaian kata ini, saya akan sedikit menceritakan tentang amal jama’i.

Kita adalah bagian dari makhluk yang diciptakan berkelompok, tanpa kita sadari di sekeliling kita terdapat banyak sekumpulan makhluk dari yang terbesar seperti planet dan sistem galaksi sampai makhluk terkecil yaitu virus dan bakteri. Karena dalam firmanNYA, bahwa tidak ada satupun makhluk melata di muka bumi, tidak juga burung – burung beterbangan dengan kedua sayapnya, kecuali seluruhnya adalah umat – umat seperti kalian (manusia). Dilihat dari segi Lughah, kalimay ummah itu ada kaitannya dengan kata umm (Ibu). Artinya, dalam berkelompok itu semuanya menginduk pada satu induk. Dalam dunia binatang, ada Ratu lebah dan ratu anai anai (rayap). Artinya, setiap kelompok itu ada yang dijadikan panutan tempat menginduk. Hal ini terjadi secara fitrah. Dapat kita lihat, bagaimana planet – planet berputar di sekitar matahari dan matahari berputar pada porosnya. Sebagaimana dalam Al Qur’an “Was syamsyu tajrii limustaqarrin lahaa” yang artinya, semuanya berputar dalam garis hidup yang telah ditetapkan Allah dalam alur yang menjadi induknya. Jadi, kalau kita kemudian berkelompok, menjadi sebuah majmu’ah itu adalah tuntutan fitrah. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berkelompok. Dari kelompok yang baik sampai kelompok yang tidak baik. Setiap kelompok ada induk atau pemimpinnya, serta ada alur yang ditempuhnya.

Seringkali kita menyamakan arti dari kelompok dan jama’ah. Padahal antara jama’ah dan kelompok itu terdapat perbedaan, yaitu Komitmen. Begini, Kelompok itu akan berkumpul dengan sendirinya meski tanpa komitmen tetapi kalau berjama’ah itu karena tuntutan Allah kepada makhlukNYA yang memiliki kekuatan iman, maka manusia bukan saja menjadi majmu’ah tetapi jama’ah yang cirinya ada komitmen didalamnya.

Dalam sebuah majmu’ah/kelompok, biasanya komitmennya itu bersifat syakhsiyah (kepada seorang tokoh). Ketika panutan yang mnejadi induknya itu wafat, biasanya ereka para pengikutnya itu “Galau” sehingga mereka membentuk kelompok baru sesuai tuntutan fitrahnya, karena intima’nya kepada individu bukan prinsip keimanan dan aqidah. Padahal jama’ah ini tidak terbatas pada fitrah, tetaoi ada nilai tersendiri yaitu tuntutan syariah yang komitmennya bukan bersifat individual ketokohan. Maka, luruskan niat kembali, bahwa kita ini “siapa”, karena “apa” berada dalam gerakan dakwah ini. Jika bekerja dan bergerak karena tokoh, untuk individu, maka benahi diri dari sekarang. Karena, memang realitas sosialnya yaitu “Annaasu Yuwaaluun man khadamahum” artinya, manusia itu memberikan komitmen kepada siapa yang telah melayaninya. Misalnya, seorang ketua tidak mampu mengarahkan para jundinya dengan baik maka jundinya itu memisahkan diri dari amanah yang sedang dijalaninya tersebut, atau kasus – kasus lainnya yang ujung – ujungnya membentuk barisan sakit hati. (lebay). Misalnya seorang ustadz yang sudah tidak bisa memberikan contoh yang baik pada muridnya, eh muridnya malah tidak mau ngaji lagi. Padahal bukan demikian, bahwa memang fitrahnya kita itu berkumpul tetapi berdasarkan keimanan kepada Allah dan berkomitmen pada prinsip – prinsipnya, bukan bekerja dan bergerak karena si Ketua Fulan atau si Fulan baik, tidak ada dalam kamus amal jama’i bahasa seperti itu, semua yang kita lakukan disini hanya karena dan untuk Ridho Allah, jadi apapun yang terjadi entah itu datangnya dari ketua atau siapapun itu yang menurut kita jadi panutan, maka kesalahan itu tetaplah kesalahan, bukan organisasi yang bersalah bahkan kita juga tidak bisa menyalahkan dia meskipun dia bersalah, karena yang salah itu adalah peruatannya, jadi bencilah pada perbuatannya, bukan pada orangnya ataupun kelompok atau bahkan jama’ahnya. Karena, itu bukti bahwa kita masih terpaku pada sosok tokoh, bukan keimanan kita pada Allah.

Dalam semua itu, kita butuh 2T, yaitu Tadhhiyah dan Tawakal ‘Alallah. Semua bertadhhiyah dan bertawakal kepada Allah, semuanya bekerja. Artinya kita berkumpul melakukan komitmen untuk sama – sama bekerja. Amal jama’i adalah kerjasama dan sama – sama kerja. Jangan kerja sama saja, tapi yang kerja Cuma pengurusnya saja, atau lebih parahnya ketuanya saja dan anggota intinya yang kerja semisal. Jadi, amal jama’i itu lbih substantif daripada sekedar berjama’ah, meskipun ada komitmen tapi komitmen saja. Dan, pada hakikatnya bahwa tidak bisa dikatakan tidak, kita akan berhimpun berjama’ah. Tapi berhimpun dan bukan sekedar berhimpun. Harus dibingkai dalam ikatan aqidah dan kejama’ahan. Harus diisi dengan amal jama’i yang terus menerus kita perluas dan tumbuh kembangkan di tengah – tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan kemanusiaan dalam kerjasama internasional. Semoga bermanfaat, wallahu’alam bish shawab. Aqulu qauli hadza wa astaghfirullahaladzim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar