KEMILAU PUNCAK AMAL JAMA'I
Malam sunyi ku nikmati bersama sinaran bulan purnama, ku lukiskan
mimpi yang dulu pernah ku rangkai juga sebelumnya, namun belum tercapai.
Malam ini ku lukiskan kembali dalam sebuah lembaran putih yang
beradukan tinta hitam yang masih basah. Dalam kesendirian ini, ku
berucap “Allah bersamaku, Allah mengawasiku, Allah menyaksikan aku”.
Pada hakikatnya, tidak ada yang bisa menaklukkan hati manusia dan
meweujudkan mimpi kita selain Sang Pencipta jiwa dan raga ini, ya Dialah
Allah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hanya Allah yang bisa
melakukan interaksi kedalam hati manusia, memberi perasaan cinta dan
kasih sayang dalam hati manusia, hal ini terbukti dalam firmanNYA di QS.
Al Anfa:63.
Bersyukurlah padaNYA karena kita masih diberi
kesempatan untuk bertemu, bersilaturahim,dan bertukar pikiran dengan
sahabat kita. Pertemuan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
dakwah kita, diisi untuk meningkatkan kerja dan kinerja dakwah kita,
performa dakwah dan jama’ah kita ini. Seiring sejalan dan terus
bergantinya waktu, dakwah dan harakah kita banyak mengalami tantangan
yang harus kita respon dan antisipasi demi kemaslahatan ummat. Dalam
rangkaian kata ini, saya akan sedikit menceritakan tentang amal jama’i.
Kita
adalah bagian dari makhluk yang diciptakan berkelompok, tanpa kita
sadari di sekeliling kita terdapat banyak sekumpulan makhluk dari yang
terbesar seperti planet dan sistem galaksi sampai makhluk terkecil yaitu
virus dan bakteri. Karena dalam firmanNYA, bahwa tidak ada satupun
makhluk melata di muka bumi, tidak juga burung – burung beterbangan
dengan kedua sayapnya, kecuali seluruhnya adalah umat – umat seperti
kalian (manusia). Dilihat dari segi Lughah, kalimay ummah itu ada kaitannya dengan kata umm (Ibu).
Artinya, dalam berkelompok itu semuanya menginduk pada satu induk.
Dalam dunia binatang, ada Ratu lebah dan ratu anai anai (rayap).
Artinya, setiap kelompok itu ada yang dijadikan panutan tempat
menginduk. Hal ini terjadi secara fitrah. Dapat kita lihat, bagaimana
planet – planet berputar di sekitar matahari dan matahari berputar pada
porosnya. Sebagaimana dalam Al Qur’an “Was syamsyu tajrii limustaqarrin lahaa”
yang artinya, semuanya berputar dalam garis hidup yang telah ditetapkan
Allah dalam alur yang menjadi induknya. Jadi, kalau kita kemudian
berkelompok, menjadi sebuah majmu’ah itu adalah tuntutan fitrah. Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang
berkelompok. Dari kelompok yang baik sampai kelompok yang tidak baik.
Setiap kelompok ada induk atau pemimpinnya, serta ada alur yang
ditempuhnya.
Seringkali kita menyamakan arti dari kelompok
dan jama’ah. Padahal antara jama’ah dan kelompok itu terdapat
perbedaan, yaitu Komitmen. Begini, Kelompok itu akan berkumpul dengan
sendirinya meski tanpa komitmen tetapi kalau berjama’ah itu karena
tuntutan Allah kepada makhlukNYA yang memiliki kekuatan iman, maka
manusia bukan saja menjadi majmu’ah tetapi jama’ah yang cirinya ada
komitmen didalamnya.
Dalam sebuah majmu’ah/kelompok, biasanya komitmennya itu bersifat syakhsiyah
(kepada seorang tokoh). Ketika panutan yang mnejadi induknya itu wafat,
biasanya ereka para pengikutnya itu “Galau” sehingga mereka membentuk
kelompok baru sesuai tuntutan fitrahnya, karena intima’nya kepada
individu bukan prinsip keimanan dan aqidah. Padahal jama’ah ini tidak
terbatas pada fitrah, tetaoi ada nilai tersendiri yaitu tuntutan syariah
yang komitmennya bukan bersifat individual ketokohan. Maka, luruskan
niat kembali, bahwa kita ini “siapa”, karena “apa” berada dalam gerakan
dakwah ini. Jika bekerja dan bergerak karena tokoh, untuk individu, maka
benahi diri dari sekarang. Karena, memang realitas sosialnya yaitu “Annaasu Yuwaaluun man khadamahum”
artinya, manusia itu memberikan komitmen kepada siapa yang telah
melayaninya. Misalnya, seorang ketua tidak mampu mengarahkan para
jundinya dengan baik maka jundinya itu memisahkan diri dari amanah yang
sedang dijalaninya tersebut, atau kasus – kasus lainnya yang ujung –
ujungnya membentuk barisan sakit hati. (lebay). Misalnya seorang ustadz
yang sudah tidak bisa memberikan contoh yang baik pada muridnya, eh
muridnya malah tidak mau ngaji lagi. Padahal bukan demikian, bahwa
memang fitrahnya kita itu berkumpul tetapi berdasarkan keimanan kepada
Allah dan berkomitmen pada prinsip – prinsipnya, bukan bekerja dan
bergerak karena si Ketua Fulan atau si Fulan baik, tidak ada dalam kamus
amal jama’i bahasa seperti itu, semua yang kita lakukan disini hanya
karena dan untuk Ridho Allah, jadi apapun yang terjadi entah itu
datangnya dari ketua atau siapapun itu yang menurut kita jadi panutan,
maka kesalahan itu tetaplah kesalahan, bukan organisasi yang bersalah
bahkan kita juga tidak bisa menyalahkan dia meskipun dia bersalah,
karena yang salah itu adalah peruatannya, jadi bencilah pada
perbuatannya, bukan pada orangnya ataupun kelompok atau bahkan
jama’ahnya. Karena, itu bukti bahwa kita masih terpaku pada sosok tokoh,
bukan keimanan kita pada Allah.
Dalam semua itu, kita
butuh 2T, yaitu Tadhhiyah dan Tawakal ‘Alallah. Semua bertadhhiyah dan
bertawakal kepada Allah, semuanya bekerja. Artinya kita berkumpul
melakukan komitmen untuk sama – sama bekerja. Amal jama’i adalah
kerjasama dan sama – sama kerja. Jangan kerja sama saja, tapi yang kerja
Cuma pengurusnya saja, atau lebih parahnya ketuanya saja dan anggota
intinya yang kerja semisal. Jadi, amal jama’i itu lbih substantif
daripada sekedar berjama’ah, meskipun ada komitmen tapi komitmen saja.
Dan, pada hakikatnya bahwa tidak bisa dikatakan tidak, kita akan
berhimpun berjama’ah. Tapi berhimpun dan bukan sekedar berhimpun. Harus
dibingkai dalam ikatan aqidah dan kejama’ahan. Harus diisi dengan amal
jama’i yang terus menerus kita perluas dan tumbuh kembangkan di tengah –
tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan
kemanusiaan dalam kerjasama internasional. Semoga bermanfaat, wallahu’alam bish shawab. Aqulu qauli hadza wa astaghfirullahaladzim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar